BERITA

Tren Thrifting: Mengapa Banyak Orang Memilih Pakaian Bekas Impor?

23 Nov 2025

Seolah menemukan “harta karun” di antara tumpukan pakaian, tren thrifting terus menarik perhatian banyak konsumen. Pakaian bekas impor dinilai unik, terjangkau, dan mudah ditemukan, terutama melalui platform digital.

Namun, di balik maraknya praktik ini, terdapat dinamika yang perlu dipahami, dari dampak ekonominya hingga tantangan yang muncul bagi industri tekstil lokal.

Kami mengajak Anda menelusuri fenomena ini secara lebih komprehensif.

 

tren thrifting
>

Sumber gambar: bloomberg.com

 

 

Narasi di Balik Tren Thrifting

Daya tarik gaya dan keunikan

Banyak pemburu thrift mencari pakaian bekas impor karena desainnya berbeda dengan produk lokal. Model tertentu, potongan klasik, hingga brand internasional membuat barang-barang ini terasa “istimewa”. Namun, perlu disadari bahwa preferensi ini secara tidak langsung dapat menggeser minat masyarakat terhadap produk tekstil baru buatan dalam negeri, yang sebenarnya terus mengalami peningkatan kualitas dari tahun ke tahun.

Alternatif ekonomis

Tidak dapat dipungkiri, harga menjadi alasan kuat konsumen memilih pakaian bekas impor. Produk bermerek dengan harga jauh lebih murah tentu menggiurkan. Namun, pilihan harga murah ini sering kali tidak mencerminkan biaya produksi yang sehat, sehingga tingginya volume pakaian bekas impor dapat menekan permintaan terhadap produk tekstil lokal, padahal industri ini mempekerjakan jutaan tenaga kerja di Indonesia.

Kepedulian lingkungan

Sebagian konsumen meyakini bahwa membeli pakaian bekas adalah bentuk kontribusi terhadap pengurangan limbah tekstil. Studi dari Future Market Insights menunjukkan bahwa permintaan akan pakaian bekas tumbuh karena orang menginginkan pilihan yang lebih berkelanjutan. Meski benar bahwa konsep reuse membantu memperpanjang usia pakai produk, impor pakaian bekas dalam jumlah besar justru berpotensi menjadi masalah baru. Tidak semua barang layak digunakan, sehingga sebagian berakhir sebagai limbah di negara tujuan impor. Selain itu, tingginya volume impor pakaian bekas sering tidak sejalan dengan tujuan keberlanjutan industri tekstil dalam negeri yang terus berupaya memperbaiki rantai produksinya.

 

Faktor-Faktor yang Memicu Popularitas Pakaian Bekas Impor

1. Pertumbuhan pasar global

Pasar second-hand apparel global berkembang pesat. Diperkirakan akan tumbuh dari USD 48,32 miliar pada 2025 menjadi hampir USD 138,90 miliar pada 2035, dengan CAGR sekitar 11,1%. Ini menunjukkan bahwa tren thrifting bukan sekadar gaya hidup lokal, melainkan bagian dari pergeseran global di industri mode. Namun, lonjakan tersebut membawa tantangan tersendiri bagi produsen tekstil lokal yang harus bersaing dengan barang impor berbiaya sangat rendah.

2. Teknologi dan platform digital

Marketplace dan platform jual-beli online mempermudah konsumen menemukan pakaian bekas impor. Algoritma pencarian dan promosi membuat produk ini semakin mudah dijangkau. Meski demikian, akses digital tersebut pada akhirnya memperbesar arus barang bekas masuk ke pasar lokal, yang bisa menghambat penetrasi produk-produk tekstil baru yang diproduksi secara legal dan tersertifikasi.

3. Kesadaran sosial: generasi milenial & gen z

Generasi muda menjadi pendorong utama pertumbuhan pasar pakaian bekas. Laporan menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen secondhand adalah usia 18-44 tahun, yang termotivasi oleh faktor seperti keunikan, keberlanjutan, dan hemat biaya. Namun, preferensi ini sering kali tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap industri tekstil nasional, yang sebenarnya menjadi tulang punggung produksi bahan baku dan ready-to-wear lokal.

4. Kebijakan dan regulasi

Menariknya, meskipun impor pakaian bekas membawa manfaat, ada juga kontroversi terkait regulasi. Di Indonesia, impor pakaian bekas sebenarnya berada dalam pengawasan ketat. Pemerintah menyoroti bahwa masuknya pakaian bekas ilegal dapat mengganggu industri tekstil nasional, menurunkan daya saing produsen lokal, dan memengaruhi kesehatan industri formal lainnya. Hal ini menandakan bahwa tren thrifting bukan hanya persoalan gaya hidup, tetapi juga isu ekonomi dan regulasi yang cukup kompleks.

 

Baca juga: Fast Fashion dan Peluang Slow Fashion bagi Produsen Tekstil Lokal 

 

Tantangan di Balik Tren Thrifting

Isu kualitas dan kebersihan

Tidak semua pakaian bekas impor melalui proses seleksi atau inspeksi yang memadai. Ini menimbulkan kekhawatiran terkait kebersihan, kesehatan, hingga standar keamanan bahan. Hal ini berbeda dengan produk tekstil lokal yang diwajibkan mengikuti standar produksi tertentu.

Persepsi gaya hidup vs manfaat lingkungan

Sebagian konsumen memilih thrifting karena gaya hidup atau tren media sosial, bukan semata alasan keberlanjutan. Hal ini mengaburkan esensi reuse dan berpotensi menjadikan thrifting sebagai bentuk konsumsi impulsif baru.

Tantangan logistik dan legal

Importasi pakaian bekas tidak selalu mengikuti jalur yang legal. Beberapa kasus menunjukkan bahwa volume impor yang besar masuk tanpa pengawasan, yang pada akhirnya merugikan industri tekstil lokal yang mematuhi regulasi perpajakan, sertifikasi, dan biaya produksi resmi.


 

Tren thrifting memang menawarkan kepraktisan dan variasi gaya yang menarik. Namun, penting bagi kita untuk memahami gambaran yang lebih besar: maraknya pakaian bekas impor dapat membawa dampak signifikan bagi industri tekstil dalam negeri yang tengah berupaya tumbuh, berinovasi, dan menciptakan lapangan kerja.

Sebagai konsumen, Anda memiliki peran besar dalam menentukan arah industri ini di masa depan, pilihan cerdas tidak hanya tentang apa yang Anda pakai, tetapi juga siapa yang Anda dukung.

Bagikan



KEMBALI

BERITA BARU