BERITA

Thrifting: Solusi Ramah Lingkungan atau Masalah Baru

30 Nov 2025

Setiap kali Anda melihat konten “thrift haul” atau menemukan jaket vintage superunik dengan harga miring, mungkin Anda merasa sedang berkontribusi pada kelestarian bumi. 

Kami pun memahami daya tarik itu. Namun, pertanyaannya: apakah thrifting benar-benar menyelamatkan lingkungan atau justru menciptakan masalah baru yang selama ini tidak terlihat?

 

thrifting solusi atau masalah baru

Sumber gambar: RRI

 

Definisi & Tren

Thrifting awalnya berarti berbelanja di toko amal atau thrift store, tetapi kini istilah ini telah meluas mencakup semua jual-beli pakaian bekas, vintage, preloved, hingga pakaian fast fashion yang telah dipakai.
Di Indonesia, tren belanja barang bekas ini tumbuh pesat karena dianggap bagian dari gaya konsumsi berkelanjutan dan ekonomi sirkular. 

Manfaat lingkungan yang umum disorot

  • Mengurangi limbah tekstil karena memperpanjang umur pakaian.
  • Meminimalkan permintaan produksi pakaian baru, sehingga menghemat air, energi, dan bahan bakar.
  • Mendukung pola ekonomi sirkular melalui penggunaan ulang, bukan pembuangan

 

Baca juga: Impor Murah Tekstil China Bawa Krisis bagi Industri Lokal 

 

Bahaya Terselubung di Balik Thrifting

Konsumsi berlebihan (overconsumption)

Menurut Project CeCe, salah satu masalah besar adalah munculnya kebiasaan “thrift hauls” seperti halnya fast fashion: banyak orang membeli banyak pakaian bekas hanya karena tren, padahal tidak semua digunakan secara maksimal. 

Ini berarti thrifting bisa “menjebak” kita dalam siklus konsumsi tanpa sadar, bukan solusi seutuhnya, tetapi hanya versi bekas dari fast fashion. 

Limbah & “Waste Colonialism”

Tidak semua pakaian bekas yang disumbangkan berakhir dijual di toko thrift lokal. Menurut Project CeCe, hanya sekitar 20% dari pakaian donasi yang dijual di toko amal, sisanya diekspor atau dijual kepada pedagang, dan sebagian besar dikirim ke negara berkembang di Global South dalam kondisi yang mungkin tidak layak pakai.
Fenomena ini disebut “waste colonialism”, yaitu negara-negara pengirim secara tidak langsung mengalihkan beban limbah ke negara lain. 

Gentrifikasi thrifting

Karena thrifting kini menjadi tren gaya hidup dan “karena eksklusif”, harga barang bekas pun meningkat. Akibatnya, orang dengan penghasilan rendah  yang mungkin dulu sangat bergantung pada thrift sebagai alternatif murah, kini sulit mengakses pakaian bekas karena harganya naik. 

Dominasi pakaian fast fashion

Banyak pakaian bekas di toko thrift ternyata berasal dari merek fast fashion seperti SHEIN, Zara, H&M, dan lain-lain. Jadi, meskipun Anda “reuse”, Anda tetap mempertahankan ekosistem produksi cepat (fast fashion) yang berdampak lingkungan dan sosial serius.

 

Baca juga: Dampak Positif Pembatasan Impor terhadap Industri Tekstil Indonesia 

 

Dampak Lokal di Indonesia

Regulasi & ekonomi

Impor pakaian bekas ilegal menjadi isu serius di Indonesia. Bisnis thrifting bisa merugikan UMKM lokal karena konsumen lebih memilih baju bekas impor, sementara produk tekstil lokal kehilangan daya saing.

Dampak lingkungan

Studi dari ITB menunjukkan bahwa limbah tekstil di Indonesia, termasuk pakaian bekas, menyumbang tonase signifikan. Selain itu, jika tidak dikelola dengan baik, sisa baju bekas yang tidak layak pakai bisa berakhir di TPA (tempat pembuangan akhir), menambah beban pencemaran.


 

Thrifting memang menawarkan jalan keluar nyata dari limbah mode dan konsumsi cepat, tetapi ia bukanlah panacea. Konsumsi berlebihan, praktek ekspor limbah, dan meningkatnya harga pakaian bekas adalah tantangan yang perlu dihadapi. 

Agar benar-benar ramah lingkungan dan adil, kita, Anda dan kami perlu mengubah mindset: dari “sekadar murah dan tren” menjadi “sadar, selektif, dan berkelanjutan.”

Bagikan



KEMBALI

BERITA BARU